Rabu, 21 Oktober 2015

Tangis Kemenangan Menjelang Ramadhan

          
Pagi itu, Jum’at 30 Juli 2010, Bu Kesi guru kelas 6 bercerita bahwa kemarin wali murid Vivi datang kerumahnya, katanya Vivi minta pindah sekolah. Saya yang ikut mengajar kelas 6 Mata Pelajaran IPA agak terkejut. “Apa dia mau ikut orang tuanya ke Sumatra Bu? sayang karena sudah kelas 6 bu kalau boleh kita tahan dulu sampai lulus.” Cerocosku karena murid kami biasa pindah ikut orang tuanya ke Sumatra.
“Masalahnya bukan itu Pak, Kemarin Bu Dhenya cerita katanya Vivi dikucilkan teman-temannya.” Saya terkejut “seingat saya di kelas 5 Vivi termasuk anak yang baik bahkan kalau saya bandingkan dengan teman-temannya dialah yang paling baik sikapnya”.  Saya faham karena waktu kelas 5 sayalah wali kelasnya.
 “saya juga terkejut Pak, saya juga menilai demikian.” Sambung Bu Kesi yang juga ikut mengampu Bahasa Indonesia waktu kelas 5.
“Alasannya apa bu kok sampai Vivi dikucilkan teman-teman.”
“kata Bu Dhenya sih penyakit kulitnya itu.”
Saya semakin terkejut, memang Vivi punya penyakit kulit saya juga paham, semacam koreng-koreng kecil tapi saya kira tidak menular dan kelihatannya sudah sembuh hanya bekasnya yang kelihatan belang kecil-kecil.
“Terus gimana tanggapan jenengan pada bu dhenya Vivi.”
“Saya suruh tenang aja biar masalah ini saya selesaikan, biasa masalah anak-anak. Saya juga nasehati, Vivi sudah kelas 6 yang akan menempuh Ujian, di tempat yang baru perlu adaptasi, dan ini bisa mempengaruhi prestasi Vivi.”
“Terus gimana tanggapannya?”
“Bu Dhenya sih, pinginnya seperti itu juga, nggak usah pindah biar diselesaikan bu guru, cuma Vivinya katanya nangis aja minta pindah.”
“Ya bu, Insya Allah nanti saya bantu selesaikan, kita cari penyebabnya dulu karena di kelas-kelas 5 masalah ini nggak timbul mengapa tiba-tiba muncul pasti ada penyebabnya.”
Pembicaraan berhenti karena sudah jam 07.00 WIB waktunya pelajaran dimulai. Kami pun masuk kelas masing-masing. Dari kantor ke kelas V melewati kelas VI saya coba melirik melalui jendela kaca. Saya lihat Vivi sedang duduk, kelihatan wajahnya memendam kesedihan yang dalam. Nggak tega rasanya melihat wajahnya yang memelas. Di kelas V Vivi termasuk murid yang aktif, penurut, walaupun hanya menduduki peringkat 3 namun sikapnya yang baik membuat saya perhatian sama dia.
Jam 08.45 WIB bel berbunyi waktunya anak-anak istirahat. Sengaja saya tidak keluar dulu, saya ingin melihat aktivitas anak-anak kelas VI waktu istirahat dari jendela kaca kelas V. Hati saya bagaikan tersayat melihat Vivi bermain dengan adik sepupunya (kelas I). Sementara anak-anak putri kelas VI bersendau gurau tanpa mempedulikan Vivi.
Saya bergegas ke kantor, sampai di kantor rekan-rekan guru sudah hangat membicarakan masalah itu. Saya mendekati Bu Kesi “Bu, gimana tadi?” tanyaku.
“Tadi  anak-anak sudah saya nasehati, tapi secara umum. Yah, saya singgung masalahnya  tapi belum saya katakan terus terang. Saya coba memanggil Eka tadi supaya ikut ke kantor setelah saya tanya ternyata memang ada Provokatornya.”
“Yayas” tebak saya sebelum Bu kesi menjelaskan
“Tepat!, terus gimana solusinya Pak?”
“O...Yayas memang di rumah pun berani membantah omongan ibunya” sambung Bu Jarmi guru kelas I.
Saya merenung sejenak, ingatan saya kembali waktu mereka masih kelas V. Sikap Yayas memang agak urakan, keras, dan kadang-kadang keluar kata-kata yang taksepantasnya digunakan dalam pergaulan. Banyak temannya yang nggak suka, bahkan mereka pernah mendiamkannya, saya biarkan karena saya fikir biarlah menjadi pelajaran baginya supaya bisa mengubah sikapnya. Mengapa sekarang terbalik ya ? Yayas anaknya memang pandai dalam hal Hapalan, sehingga waktu ada lomba LCC tingkat kecamatan (menjadi juara 3) sempat saya seleksi antara Vivi dan Yayas untuk menemani Ella dan Kiky, ternyata Yayas lebih baik hapalannya, demi prestasi saya memilih Yayas walau sebenarnya dalam hati pingin Vivi yang ikut. Dalam peringkat kelas Yayas dan Vivi selalu bersaing diperingkat 3 dan 4.
“Gimana Pak Mar? Kok malah bengong!”
Saya tersentak dari lamunan “Oh, ya ... gimana Kalau kita panggil anak-anak yang dulu pernah akrab dengan Vivi, kita beri penjelasan dan nasehat agar tidak mengucilkan Vivi lagi”
“Kalau gitu besok biar saya panggil, kira-kira siapa ya?”
“Ella, Eka, Dian terus Indah.” Usulku.
Paginya Bu Kesi betul-betul memanggil sebagian anak-anak putri  ke Perpustakaan mereka dinasehati. Yang intinya jangan lagi mengucilkan Vivi.
Sesampainya dari perpustakaan Bu Kesi ku sapa “Gimana Bu?”
“Dah kok, Pak Mar Nggak ikut nasehati mereka?”
“Besok aja bu kalau anak-anak dah selesai lomba MAPSI di Winong, karena sebagian kelas 6 kan dah persiapan lomba MAPSI, saya takut malah memecah konsentrasi mereka. Biarlah kita lihat reaksi anak-anak yang telah njenengan nasehati. Kalau dah baik ya saya tinggal kasih motivasi nanti.”
Di tengah-tengah kesibukan anak-anak kelas VI mempersiapkan lomba MAPSI dibawah bimbingan guru agama, saya coba untuk memantau reaksi dari tindakan awal yang telah dilakukan Bu Kesi, terutama di waktu istirahat. Ternyata belum ada perubahan, Vivi masih bermain dengan sepupunya sementara teman-temannya bergerombol sendiri, bersendau gurau tanpa merasa punya beban apa-apa.
Melihat kenyataan ini Bu Kesi minta pertimbangan pada saya. “Gimana Pak, kok kelihatannya masih belum berubah!”
“Dah biarkan aja dulu Bu, Jangan dijadikan masalah dulu di dalam kelas, Biar anak-anak konsentrasi dulu menghadapi lomba MAPSI yang penting Vivi masih bertahan tidak minta pindah. Nanti setelah lomba biar saya yang bicara ama anak-anak.
Waktu terus berlalu, lomba MAPSI pun tiba walaupun hasilnya belum memuaskan sekolah setidak-tidaknya mereka sudah berusaha sebik-baiknya tanpa ada beban masalah yang mengganggunya. Sementara masalah Vivi masih menjadi beban tersendiri bagi dirinya, saya takut jika tidak segera diatasi akan berpengaruh pada prestasinya.
Hari ini hari senin wage, tanggal 9 Agustus 2010 bertepatan dengan tanggal 28 Sya’ban 1431 H, berarti dua hari lagi bulan Ramadhan. Momen ini saya rasa paling tepat untuk berbicara pada anak-anak kelas 6 karena besok pagi sudah mulai libur awal Ramadhan.
Kebetulan setelah Upacara Hari Senin  jam pertama dan ke-dua saya mengajar IPA di kelas VI. Ini adalah kesempatan saya untuk membantu menyelesaikan masalahnya Vivi. Seperti biasa setelah mengabsen anak-anak saya tanya kabar mereka. Kelihatannya mereka ceria sementara mata saya melirik ke Vivi masih kelihatan memendam duka.
“Anak-anak dua hari lagi kita akan masuk bulan Ramadhan besuk pagi kalian sudah mulai libur awal Ramadhan. Hari ini Pak Mar tidak akan mengajar atau memberi pelajaran IPA. Pak Mar ingin bicara dari hati ke hati dengan kalian.”
            “Kalian nanti puasa nggak?” mendengar pertanyaan saya kelas menjadi ramai. Ada yang menjawab Insya Allah ada yang kelihatan ragu-ragu ada yang menjawab puasa setengah hari pak. Maklum kebanyakan dari mereka ikut nenek dan kakeknya sementara orang tuanya merantau, jadi masalah-masalah ibadah masih kurang mendapat perhatian. Di tengah hiruk pikuknya anak-anak menanggapi pertanyaan yang saya lontarkan saya lihat Vivi masih diam seribu bahasa.
“Anak-anak sebelum kita puasa ada baiknya kita instropeksi diri dulu, mengaca pada diri sendiri apakah yang telah kita lakukan selama ini. Apakah pernah kita selama ini menyakiti hati orang lain, terutama pada orang tua kita. Maka wajib bagi kita untuk meminta maaf sebelum menjalankan puasa.”
“Anak-anak kita diciptakan Tuhan berbeda-beda ada yang cantik ada yang kurang cantik, ada yang pandai ada yang kurang pandai, ada yang kaya ada yang kurang kaya. Apakah ini pertanda Allah tidak adil anak-anak? Tidak anak-anak, justru inilah keadilan Tuhan, supaya kita saling mengisi membantu kekurangan orang lain. Jangan malah mencaci atau mengejek kekurangan orang lain”.
            Kelihatanya anak-anak putra agak bingung. Tapi saya lihat ada sebagian anak putri yang mulai tanggap dengan arah pembicaraan saya. Sementara Yayas dan teman yang dekat gojek sendiri seakan tidak mau terlibat pembicaraan saya. Saya gebrak meja walaupun tidak keras cukup membuat kelas senyap.
“Kalau ingin dihargai orang lain cobalah menghargai orang lain. Jangan Sombong karena kelebihan yang kalian punya saat ini.” Emosiku mulai terusik dengan sikap mereka yang meremehkan pembicaraanku.”
“Baiklah saya terus terang saja. Mengapa Pak Mar hari ini bicara seperti ini. Pak Mar mendapat SMS dari kakak kelas kalian yang sekarang duduk di kelas 1 SMP kalian nggak perlu tahu siapa yang kirim, yang jelas isinya Pak Mar dimintai tolong mendamaikan kalian yang lagi berseteru. Pak Mar dah Jawab SD kita damai-damai aja kok.”
“Saya nggak ingin tahu siapa yang salah siapa yang benar, tapi coba kita bicara dari hati-ke hati. Bukalah pendengaran hati kalian. Benarkan apa yang benar dan salahkan apa yang salah.”
Mulailah saya bercerita tentang pengalaman yang pernah saya alami, “anak-anak badan Pak Mar waktu SD dulu kurus sekali, keadaan seperti ini yang membuat sebagian temanku kadang-kadang  mengejekku. Apakah Pak Mar tidak sakit hati anak-anak? Sama seperti anak-anak, Pak Mar seketika juga sakit hati. Tapi haruskah aku membalas dengan ejekan. Pak Mar biasaya hanya menangis ketika sendirian. Biarlah Pak Mar dikatakan cengeng, yang penting Pak Mar tidak menyakiti orang lain. Pak Mar punya prinsip kalau kita di cubit masih merasakan sakit janganlah mencubit orang lain. Kalau kita diejek orang masih sakit hati maka jangan mengejek orang”.
Saya melihat Vivi menyeka air mata, sebagian anak putri yang lain pun mulai ikut meneteskan air mata, mungkin mereka yang pernah merasakan ejekan dari teman-teman yang lain. anak laki-laki ada yang nyelethuk “gitu aja nangis!”. Saya biarkan aja karena sudah kebiasaan anak laki-laki tersebut suka berceloteh.
“anak-anak kalau kalian ingin nangis menangislah, itu tandanya hati kalian tidak keras masih mau menerima nasehat. Kalau kalian menghelehkan nasehat-nasehat baik itu tandanya hati kalian keras. Dan hati-hatilah dengan hati yang keras, karena itulah yang akan membawa sengsara dalam hidup.”
“Anak-anak Pak Mar ulang sekali lagi, Pak Mar tidak ingin tahu siapa yang salah  dan siapa yang benar. Yang Pak Mar inginkan kalian menyadari siapa diri kita ini. Janganlah  ada yang merasa diri kita lebih dari yang lain. Karena itu akan menimbulkan kesombongan, dan Allah membenci orang-orang yang sombong. Ingat cerita Iblis, mengapa iblis diusir Allah dari Surga?  Itu adalah gara-gara Iblis merasa lebih baik dari Adam dan tidak mau melaksanakan perintah Allah agar sujud pada Adam sebagai tanda hormat. Akhirnya Allah mengusir Iblis dari Surga. Yang sudah ada di surga saja diusir Allah karena sombong apalagi kita yang tak pernah di surga, kalau kita sombong kira-kira Allah ngijinin nggak kita masuk surga? Sebuah pertanyaan yang tak perlu jawaban saya lontarkan.
“Anak-anak seharusnya kita merasa lebih hina dari siapapun dengan begitu kita akan hormat pada siapapun.” Saya biarkan yang ingin menangis bahkan saya persilahkan.
“Anak-anak Pak Mar punya cerita yang bisa kalian ambil hikmahnya. Cerita ini betul-betul terjadi. Ketika Pak Mar merantau di Malaysia ada anak kampung sebaya kalian juga masih duduk di Darjah Lima, ya sama dengan kalas lima. Anaknya cantik, Pak Mar lihat sendiri. Tetapi sayang dia sombong, tidak mengindahkan sopan santun pada orang yang lebih tua. Sampai guru sekolahnya pun katanya tidak suka sama si anak itu. Ya karena sikapnya yang tidak baik. Suatu saat dia naik motor kecelakaan sehingga membuatnya lumpuh, dan hanya bisa duduk di kursi roda. Jangankan untuk mandi buang air besar dan air kecil pun harus dibantu. Coba kalian renungkan cerita ini”
“Kecantikan, kekayaan, kecerdasan adalah nikmat yang harus kita syukuri bukan malah kita sombongkan karena semua itu tidak kekal. Ketika Allah sudah mengambilnya maka yang tinggal hanya kehinaan. Yang diberikan kecerdasan jangan meremehkan yang kurang cerdas, karena ternyata bersamaan dengan berjalannya waktu banyak teman-teman Pak Mar yang waktu sekolahnya kurang cerdas menjadi orang sukses. Dan ada pula yang termasuk cerdas tapi diwaktu sekolah sombong meremehkan teman-teman sekarang tidak sukses, malu rasanya bertemu dengan teman-temannya yang dulu diremehkan. Coba kalau dulu dia tidak sombong mungkin bisa minta tolong kawan-kawannya yang sukses.”
“Bisakah kalian mengambil hikmah semua omongan Pak Mar ini. Apakah yang akan kita sombongkan, setelah Allah mengambil yang bisa kita sombongkan. Anak-anak Marilah kita renungkan bersama apa yang telah kita lakukan pada orang-orang sekitar kita. Terutama orang tua kita. Sudahkah kita berbakti kepadanya. Pada teman-teman kita, sudahkah kita berbuat baik kepadanya, pernahkah kita menyakiti hati mereka, kalau pernah sekarang berjanjilah dalam lubuk hati yang paling dalam “saya minta maaf temanku, saya telah menyakiti hatimu, tolong maafkan saya” yang pernah merasa disakiti berjanjilah “saya maafkan semua kesalahanmu kawanku, kita semua adalah saudara yang harus saling memaafkan.”
Tidak terasa saya membawa mereka dalam tangis kemenangan. Menang melawan kekerasan hati. Hampir semua anak menangis termasuk anak putra.
“Teruskan anakku biarkanlah air mata menetes tanda kebersamaan kita terjalin kembali. Lepaskan rasa dendam, sekali lagi lepaskan rasa dendam, biarkan rasa dendam pergi terbang jauh,  bukalah pintu maaf selebar-lebarnya. Hanya kebersamaan yang akan menghatarkan kalian sukses. Sukses menjadi orang yang berguna bagi Keluarga, Nusa, Bangsa dan Agama.
Tidak terasa 2 jam pelajaran berlalu. Anak-anak masih bersenggukan menahan tangis.
“Anak-anak kini tiba waktunya kita berjabat tangan lepaskan rasa sakit hati, lepaskan rasa dendam, ikhlaskan hati untuk saling bermaaf-maafan.”
“Silahkan yang depan berdiri bersalaman dengan Pak Mar kemudian berdiri di samping Pak Mar utuk mendapat salaman dari yang lain demikian seterusnya.”
Sambil salaman kulihat anak-anak semakin menjadi tangisnya bahkan ada yang berpelukan. Biarlah, biarlah mereka hanyut dalam tangis kemenangan ini. Setelah selesai salam-salaman anak-anak saya suruh duduk kembali.
“Anak-anak Pak Mar berharap setelah ini nanti kebersamaan kalian terjalin lebih kuat. Kita lupakan masa lalu Kita bangun semangat baru. Baiklah anak-anak sebelum kita berpisah Pak Mar mohon maaf jika selama ini Pak Mar berbuat salah pada kalian. Selamat Menyambut Bulan Ramadhan. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh”
Saya tinggal mereka masih dalam tangis bahagia.
Sesampai di kantor saya ditanya rekan guru-guru, kenapa kelas VI kok banyak yang menangis? “saya marahi” jawabku.
Ketika mereka keluar untuk istirahat kulihat Vivi sudah bersama teman-temanya. “Subhanallah, Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau telah menyatukan mereka kembali.” Sorenya saya SMS Vivi. “Nov Pak Mar minta maaf ya, Tadi telah membuat Vivi Menangis” Jawaban SMS dari Vivi “Nggak apa-apa Pak, saya malah senang dapat bersama kawan-kawan lagi.” “Memang itu yang Pak Mar inginkan Nov.”
Dan yang lebih menggembirakan lagi sikap Yayas juga telah banyak berubah yang dulunya kurang baik sekarang berubah menjadi baik ini terlihat setelah masuk selesai libur awal Ramadhan dan sampai sekarang tidak ada lagi tanda-tanda sifat buruk yang pernah ditunjukkan. Subhanallah, Maha Suci Engkau Ya Allah yang telah menunjukkan kekuasaanMu padaku.
Semoga tulisan ini berguna bagi rekan-rekan guru, dalam menyelesaikan masalah anak-anak ternyata mengurai masalah anak-anak tanpa mencari mana yang salah mana yang benar bisa berakhir lebih indah.

“kisah nyata Juli 2010”
di tulis : P. Mar (Martono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar