A. Pengenalan Semantik
Menurut Katz (1971:3) semantik adalah studi tentang makna bahasa. Sementara itu semantik menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik adalah bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara. Secara singkat, semantik ini mengkaji tata makna secara formal (bentuk) yang tidak dikaitkan dengan konteks. Akan tetapi, ternyata ilmu yang mempelajari atau mengkaji makna ini tidak hanya semantik, ada juga pragmatik. Untuk membedakannya, berikut ini ada beberapa poin yang mudah untuk diingat dan dapat dengan jelas membedakan semantik dengan pragmatik.
Perbedaan kajian makna dalam semantik dengan pragmatik
1. Pragmatik mengkaji makna di luar jangkauan semantik
Contoh:
Di sebuah ruang kelas, Dewi duduk di deretan kursi belakang. Lalu, ia berkata kepada gurunya, “Pak, maaf saya mau ke belakang.”
Kata yang dicetak miring itu, yaitu kata ‘belakang’ secara semantik berarti lawan dari depan, berarti kalau dikaji secara semantik, Dewi hendak ke belakang. Akan tetapi, kalau kita lihat konteksnya, Dewi sudah duduk di deretan paling belakang. Tentu saja tidak mungkin makna ‘belakang’ yang diartikan secara semantik yang dimaksud Dewi. Nah, sekarang kita kaji dengan menggunakan pragmatik, di mana dalam pragmatik ini dilibatkan yang namanya “konteks”. Konteksnya apa? Konteksnya yaitu keadaan Dewi yang sudah duduk di belakang, sehingga tidak mungkin ia minta izin untuk ke belakang lagi (kita gunakan logika). Biasanya, orang minta izin ke belakang untuk keperluan sesuatu, seperti pergi ke toilet atau tempat lainnya. Nah, kalau yang ini masuk akal kan?
Jadi, makna kata ‘belakang’ dalam kalimat di atas tidak dapat dijelaskan secara semantik, hanya bisa dijelaskan secara pragmatik. Maka dari itulah dinyatakan bahwa kajian makna pragmatik berada di luar jangkauan semantik.
2. Sifat kajian dalam semantik adalah diadic relation (hubungan dua arah), hanya melibatkan bentuk dan makna. Sifat kajian dalam pragmatik adalah triadic relation (hubungan tiga arah), yaitu melibatkan bentuk, makna, dan konteks.
3. Semantik merupakan bidang yang bersifat bebas konteks (independent context), sedangkan pragmatik bersifat terikat dengan konteks (dependent context). Hal ini dapat dijelaskan pada contoh soal poin ke-1. Pada contoh tersebut, ketika makna kata ‘belakang’ dikaji secara semantik, ia tidak memperhatikan konteksnya bagaimana (independent context), ia hanya dikaji berdasarkan makna yang terdapat dalam kamus. Namun, ketika kata ‘belakang’ dikaji dengan pragmatik, konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, di mana, dan apa tujuannya ini sangat diperhatikan sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya.
4. Salah satu objek kajian semantik adalah kalimat, sehingga semantik ini sering disebut makna kalimat. Dalam pragmatik, objek kajiannya adalah tuturan (utterance) atau maksud.
5. Semantik diatur oleh kaidah kebahasaan (tata bahasa), sedangkan pragmatik dikendalikan oleh prinsip komunikasi. Jadi, kajian makna dalam semantik lebih objektif daripada pragmatik karena hanya memperhatikan makna tersebut sesuai dengan makna yang terdapat dalam leksemnya. Kajian makna pragmatik dapat dikatakan lebih subjektif karena mengandung konteks/memperhatikan konteks dan setiap orang pasti mempunyai makna sendiri sesuai dengan konteks yang dipandangnya. Selain itu, pragmatik juga dimotivasi oleh tujuan komunikasi. Pemaknaan semantik itu ketat karena terpaku pada makna kata secara leksikal (tanpa konteks), sedangkan pemaknaan pragmatik lebih lentur karena tidak mutlak bermakna “itu”.
6. Semantik bersifat konvensional, sedangkan pragmatik bersifat nonkonvensional. Dikatakan konvensional karena diatur oleh tata bahasa atau menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan.
7. Semantik bersifat formal (dengan memfokuskan bentuk: fonem, morfem, kata, klausa, kalimat), sedangkan pragmatik bersifat fungsional.
8. Semantik bersifat ideasional, maksudnya yaitu makna yang ditangkap masih bersifat individu dan masih berupa ide karena belum dipergunakan dalam berkomunikasi, sedangkan pragmatik bersifat interpersonal, maksudnya yaitu makna yang dikaji dapat dipahami/ditafsirkan oleh orang banyak, tidak lagi bersifat individu karena sudah menggunakan konteks.
9. Representasi (bentuk logika) semantik suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatiknya.
Contoh: “Kawan, habis makan-makan kita minum-minum yuk…”
• Dikaji dari semantik, kata “minum-minum” berarti melakukan kegiatan ‘minum air’ berulang-ulang, tidak cukup sekali minum.
• Dikaji dari segi pragmatik, kata “minum-minum” berarti meminum minuman keras (alkohol).
B. Jenis Semantik
Penjelasan gambar di atas:
• Kalau objek kajian semantiknya adalah makna-makna gramatikal, maka jenis semantik ini disebut SEMANTIK GRAMATIKAL. Jenis semantik ini mengkaji satuan-satuan gramatikal yang terdiri atas sintaksis dan morfologi.
Konteks morfologi:
Kata ‘sepatu’ akan memiliki makna yang berbeda setelah mengalami proses morfologis, misalnya dengan afiksasi menjadi ‘bersepatu’.
Konteks sintaksis:
– Di kebun binatang ada enam ekor beruang.
– Hanya orang yang beruang yang dapat membeli rumah itu.
Perbedaan makna ‘beruang’ pada kalimat pertama dan kedua itu terjadi karena adanya perbedaan konteks kalimat yang dimasuki kata-kata tersebut.
• Pada fonologi tidak ada semantiknya, atau dengan kata lain fonologi tidak termasuk dalam jenis-jenis semantik karena fonologi hanya mampu membedakan makna kata dengan perbedaan bunyi.
• Kalau objek kajian semantiknya leksikon (kosakata) dari suatu bahasa, maka jenis semantiknya dinamakan SEMANTIK LEKSIKAL. Kajian semantik leksikal ini adalah makna utuh yang terdapat pada masing-masing leksikon tanpa terpengaruh proses apapun (proses morfologi maupun sintaksis).
• Dikatakan SEMANTIK WACANA kalau objek kajiannya adalah wacana. Tugas jenis semantik ini adalah mengkaji makna wacana. Pemaknaan suatu wacana tidak terlepas dari pola berpikir yang runtut dan logis.
C Kaidah Umum Semantik.
1. Hubungan antara leksem dengan acuannya bersifat arbitrer. Contoh: kata ‘kursi’ dengan media (yang sekarang kita ketahui wujudnya dan dinamakan kursi) itu tidak bersifat mutlak, tetapi arbitrer. Tidak ada alasan kenapa media tersebut dinamakan ‘kursi’.
2. Kajian waktunya ada yang sinkronik (melihat makna dalam kurun waktu tertentu sehingga maknanya bersifat tetap,, tidak mengalami perubahan baik dulu maupun sekarang) dan diakronik (melihat makna dalm kurun waktu panjang sehingga maknanya relatif berubah.) Contoh diakronik adalah kata ‘bapak’. Dahulu, kata ‘bapak’ digunakan pada seorang laki-laki yang mempunyai hubungan darah (dengan anaknya), sedangkan sekarang kata ‘bapak’ dapat digunakan pada seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah sekalipun, belum tua, dan bahkan belum menikah, misalnya ‘Bapak guru’, ‘Bapak walikota’, ‘Bapak camat’, dsb.
3. Beda bentuk, beda makna.
Contoh kata ‘bisa’ dan ‘dapat’, di mana arti keduanya bersinonim. Akan tetapi, setelah keduanya mendapatkan proses morfologis, misalkan afiksasi ‘peN- + -an’, sehingga bentuknya menjadi ‘pembisaan’ dan ‘pendapatan’. Jelas sekali kata ‘dapat’ yang diberi proses morfologis itu lebih berterima daripada kata ‘bisa’ setelah mendapat proses morfologis.
4. Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri.
Contoh:
Kata ‘pipis’, dalam Bahasa Sunda kata tersebut berarti ‘air kencing’, tetapi dalam Bahasa Bali kata tersebut berati ‘uang jajan’. Contoh lainnya yaitu ‘kodok’, dalam Bahasa Sunda berarti ‘mengambil sesuatu dari sebuah lubang yang dalam’, sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti ‘katak’.
5. Makna berkaitan dengan pandangan hidup/budayanya.
Pada poin ini berkaitan dengan tabu atau tidaknya penggunaan kata tersebut di suatu masyarakat. Contoh kata ‘anjing’, bagi orang Islam kata ‘anjing’ dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bernajis, tetapi bagi orang Kristen dapat dimaknai sebagai hewan yang lucu dan menggemaskan.
6. Luasnya bentuk ≠ luasnya makna.
Secara bentuk, semakin lebar (kata-kata yang digunakan) maka semakin sempit maknanya, begitu sebaliknya. Contoh:
Kereta
Kereta api
Kereta api ekspres
Bandingkan makna kata ‘kereta’ dengan makna yang terkandung dalam ‘kereta api ekspres’. Secara bentuk, kata ‘kereta’ lebih simpel daripada ‘kereta api ekspres’. Akan tetapi, secara makna, makna ‘kereta’ masih terlalu luas, apakah yang dimaksudkan itu kereta api, kereta uap, atau kereta apa. Sementara itu, makna ‘kereta api ekspres’ sudah jelas berarti kereta api khusus yang lajunya lebih cepat dan fasilitas serta pelayanannya lebih baik daripada kereta api ekonomi.
D. Penamaan dalam Semantik
Penamaan dalam semantik ini ada 8 penyebab yaitu sebagai berikut.
1. Peniruan bunyi, contohnya ‘tokek’ disebut demikian karena bunyi hewan tersebut adalah ‘tokek-tokek’. Penamaan sesuatu berdasarkan peniruan bunyinya disebut ONOMATOPE.
2. Penyebutan bagian, contoh “Ibu membeli empat ekor ayam” yang dimaksud kalimat tersebut pastilah bukan hanya ekor ayamnya saja yang dibeli ibu, tetapi ayam secara keseluruhan.
3. Penyebutan sifat khas, contoh ‘si kerdil’ karena anak tersebut tetap berbadan kecil, tidak tumbuh menjadi besar.
4. Penemu dan pembuat, contoh ‘Aqua’ dan ‘kodak’, kalau kita mau membeli air minum dalma kemasan, pasti kita akan berkata, “Pak, beli Aqua satu botol.” Padahal di toko tersebut tidak ada air minum kemasan bermerek Aqua. Demikian juga dengan ‘Kodak’ yang merupakan nama merek sebuah kamera.
5. Tempat asal, contoh kata ‘magnet’ berasal dari nama tempat Magnesia, nama burung ‘kenari’ diambil dari asal burung itu berada yaitu Pulau Kenari di Afrika, ikan ‘sarden’ berasal dari Pulau Sardinia di Italia. Ada juga nama piagam atau perjanjian-perjanjian besar seperti ‘Piagam Jakarta’ karena tempatnya di Jakarta, ‘Perjanjian Linggarjati’ karena pelaksanaan perjanjian tersebut di Linggarjati.
6. Bahan, contoh nama karung ‘goni’ karena bahan karung tersebut dari goni, dan ‘bambu runcing’ karena benda tersebut terbuat dari bambu dan ujungnya runcing.
7. Keserupaan, perhatikan contoh ‘kaki’, ‘kaki gunung’, ‘kaki kursi’, dan ‘kaki meja’, hal yang sama dari empat contoh tersebut adalah letaknya, di mana letak kaki selalu ada di bawah. Contoh lain misalnya ‘kepala’, ‘kepala masinis’, ‘kepala sekolah’, dan ‘kepala surat’, hal yang sama pada kata-kata tersebut yaitu letaknya, di mana letak kepala selalu berada di atas. Kepala surat selalu diletakkan di bagian atas kan? ^^
8. Pemendekan, contoh ‘UPI’ menjadi nama sebuah universitas negeri di Bandung, padahal namanya bukan UPI, tetapi Universitas Pendidikan Indonesia. Contoh lain yaitu ‘cireng’ yang menjadi nama sebuah makanan ringan, ‘cireng’ merupakan kependekan dari ‘aci goreng’.
E. Aspek Makna
Aspek makna dibedakan atas empat macam yaitu pengertian (sense), perasaan (feeling), nada(tone), dan maksud atau tujuan (intention). Pengertian sense sama dengan tema. Perasaan berkaitan dengan sikap pembicara terhadap apa yang sedang dibicarakan serta bagaimana situasi pembicaraan saat itu. Nada adalah sikap pembicara terhadap lawan bicaranya. Maksud adalah hal yang mendorong pembicara untuk mengungkapkan satuan-satuan bahasa. Contohnya yaitu “Hari ini panas”, apabila orang yang diajak berbicara itu menanggapinya dengan hal lain seperti meminta minum, maka akan berbeda pula dengan maksud di penutur (hanya memberi tahu bahwa hari ini cuacanya panas).
F. Jenis Makna
Makna leksikal adalah makna yang terdapat pada kata tersebut secara utuh, sesuai dengan bawaannya. Contoh “Tikus itu mati diterkam kucing”, makna kata ‘tikus’ pada kalimat tersebut adalah ‘binatang tikus’, bukan yang lainnya.
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun.
Makna generik adalah makna konseptual yang luas, umum, yang mencakup beberapa makna konseptual yang khusus maupun umum. Contoh kata ‘sekolah’ dalam kalimat “Sekolah kami menang”, bukan hanya gedung sekolahnya saja yang menang, tetapi juga mencakup guru-gurunya, muridnya, dan warga sekolah lainnya. Bila kita berkata, “Ani sekolah di Lampung”, hal ini sudah tidak dapat dikaitkan dengan makna konseptual sekolah, tetapi sudah lebih luas yaitu Ani belajar di gedung yang namanya sekolah dan sekolah tersebut berada di Lampung.
Makna spesifik adalah makna konseptual yang khusus, khas, dan sempit. Contoh pada kalimat “Pertandingan sepak bola itu berakhir dengan kemenangan Bandung”, yang dimaksud hanya beberapa orang yang bertanding saja, bukan seluruh penduduk Bandung.
Makna asosiatif disebut juga makna kiasan. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan di luar bahasa. Contoh kata ‘bunglon’ berasosiasi dengan makna ‘orang yang tidak berpendirian’, kata ‘lintah darat’ berasosiasi dengan makna ‘orang yang suka memeras (pemeras) atau pemakan riba’.
Makna konotatif adalah makna yang digunakan untuk mengacu bentuk atau makna lain yang terdapat di luar leksikalnya.
Makna afektif adalah makna yang muncul akibat reaksi pendengar atua pembaca terhadap penggunaan bahasa. Contoh “datanglah ke pondok buruk kami”, gadungan ‘pondok baru kami’ mengandung makna afektif ‘merendahkan diri’.
Makna stilistika adalah makna yang timbul akibat pemakaian bahasa. Makna stilistika berhubungan dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama kepada pembaca. Makna stilistika lebih dirasakan di dalam karya sastra.
Makna kolokatif adalah makna yang berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam lingkungan yang sama. Contoh kata-kata ikan, gurame, sayur, tomat, minyak, bawang, telur, garam, dan cabai tentunya akan muncul di lingkungan dapur. Contoh lain yaitu bantal, kasur, bantal guling, seprei, boneka, selimut, dan lemari pakaian tentu akan muncul di lingkungan kamar tidur.
Makna idiomatik adalah makna yang ada dalam idiom, makna yang menyimpang dari makna konseptual dan gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Dalam Bahasa Indonesia ada dua macam idiom yaitu IDIOM PENUH dan IDIOM SEBAGIAN. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan merupakan satu-kesatuan dengan satu makna. Contoh “Orang tua itu membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan anaknya”, ungkapan ‘membanting tulang’ dalam kalimat tersebut tentu memiliki satu kesatuan makna yaitu ‘kerja keras’. Idiom sebagian adalah idiom yang di dalam unsur-unsurnya masih terdapat unsur yang memilikii makna leksikal. Contoh ‘daftar hitam’ yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap bersalah’.
Makna kontekstual muncul sebagai akibat adanya hubungan antara ujaran dengan situasi. Contoh “Saya lapar, Bu, minta nasi!” yang berarti orang tersebut berada dalam situasi yang benar-benar lapar dan ia meminta nasi.
Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsiinya sebuah kata dalam suatu kalimat. Contoh kata ‘mata’, secara leksikal bermakna alat/indera yang berfungsi untuk melihat, tetapi setelah digabung dengan kata-kata lain menjadi ‘mata pisau’, ‘mata keranjang’, ‘mata air’, ‘air mata’, dan ‘mata duitan’ maka maknanya akan berubah menjadi makna gramatikal.
Makna tematikal adalah makna yang dikomunikasikan oleh pembicara/penulis melalui urutan kata-kata, fokus pembicaraan, maupun penekanan pembicaraan. Contoh “Aminah anak Bapak Roni meninggal dunia kemarin”, makna dari kalimat tersebut bisa ada tiga yaitu:
(1) Aminah/anak Bapak Roni/meninggal kemarin.
(2) Aminah!/anak Bapak Roni meninggal kemarin.
(3) Aminah/anak/Bapak/Roni/meninggal kemarin.
Makna kalimat (1) adalah anak Bapak Roni yang bernama Aminah telah meninggal kemarin, kalimat (2) berarti sebuah informasi memberi tahu Aminah bahwa anak Bapak Roni yang entah siapa namanya telah meninggal kemarin, dan kalimat (3) berarti ada emmpat orang yang meinggal kemarin yaitu Aminah, anak, Bapak, dan Roni.
G. Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan antara makna kata yang satu dengan makna kata yang lainnya.Prinsip relasi makna ada empat yaitu prinsip kontiguitas, prinsip komplementasi, prinsip overlaping, dan prinsip inklusi. PRINSIP KONTIGUITAS adalah prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki makna yang sama/mirip; prinsip ini dapat menimbulkan relasi makna yang disebut SINONIMI. PRINSIP KOMPLEMENTASI adalah prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang satu berlawanan dengan makna kata yang lainnya; prinsip ini dapat menimbulkan relasi makna yang disebut ANTONIMI. PRINSIP OVERLAPING adalah prinsip yang menjelaskan bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda, atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda maknanya; prinsip ini menimbulkan adanya relasi makna yang disebut HOMONIMI dan POLISEMI.PRINSIP INKLUSI adalah prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata mencakup beberapa mekna kata lain; prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut HIPONIMI.
Contoh sinonimi:
• Pintar, pandai, cerdik, cerdas, cakap
• Cantik, molek, bagus, indah, permai
• Bunga, kembang, puspa
• Aku, saya, beta, hamba
Contoh antonimi:
• Kuat >< dingin
Contoh homonimi:
a) Homonimi yang berhomograf dan berhomofon:
• bisa = (1) sanggup/dapat, (2) racun ular
• buku = (1) media untuk menulis/membaca, (2) bagian tekukan pada jari-jari
b) Homonimi yang tidak berhomograf (homofon):
• bang = bentuk singkat dari ‘abang’ yang berarti kakak laki-laki
• bank = lembaga yang mengurus lalu lintas uang
• sangsi = ragu-ragu, bimbang
• sanksi = hukuman, konsekuensi, akibat
• sah = dilakukan menurut hukum
• syah = raja
• syarat = ketentuan
• sarat = penuh
c) Homonimi yang tidak berhomofon (homograf):
• teras = pegawai utama
• teras [tѐras] = halaman depan rumah, lantai rumah tempat bersantai
• apel = nama buah
• apel [apѐl] = upacara resmi
• tahu [tau] = mengerti, paham
• tahu = nama makanan yang terbuat dari kedelai yang digiling halus
contoh hiponimi:
Hubungan antar hiponim (merah, kuniing hijau) disebut kohiponim.
Contoh polisemi:
• kepala (karena selalu terletak di bagian atas/tertinggi posisinya, contoh kepala suku, kepala surat, kepala sekolah)
• mulut (sebagai jalan masuk dan letaknya selalu di depan, contoh mulut gua, mulut harimau, mulut gang, mulut botol)
• bibir (terletak di tepian, contoh bibir sungai)
Referensi:
Fasha, M., Sitaresmi, N. (2011). Pengantar Semantik. Bandung: UPI PRES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar